KAJIAN SOSIOLINGUISTIK
Oleh
Ilham Achmad, S.Pd., M.Pd.
(Pendiri Omamoynesia Institute,
Pengurus HISKI Sulawesi Selatan)
Bagian Satu
Pergeseran bahasa merupakan salah satu topik yang mewarnai diskursus kajian kebahasaan di Indonesia. Kasus pergesaran bahasa ini berlangsung secara regresif ke arah suatu bahasa etnik kehilangan fungsinya sebagai identitas sosiokultural masyarakat penuturnya. Hal tersebut kemudian menggerakkan perhatian bahasawan ke arah telaah terhadap bahasa-bahasa etnik di daerah yang secara fundamental tidak bisa dipisahkan dari nilai luhur suatu komunitas masyarakat sebagai entitas kebhinekaan negara bangsa.
Dinamika pergeseran bahasa ini merupakan situasi yang umumnya dihadapi oleh bahasa-bahasa etnik di setiap daerah di Indonesia. Bahasa-bahasa etnik mayoritas seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Aceh, bahasa Bugis, bahasa Makassar, dan bahasa-bahasa lainnya juga menghadapi fakta pergeseran sebagaimana diulas dalam berbagai hasil penelitian-penelitian bahasa. Misalnya, kasus bahasa dengan jumlah penutur terbanyak seperti bahasa Bugis dan bahasa Makassar di Sulawesi Selatan mengalami pergeseran. Hal ini deperkuat dengan pendapat Lukman (2012) yang mengemukakan bahwa bahasa Bugis dan Bahasa Makassar meskipun termasuk bahasa yang memiliki jumlah penutur yang cukup besar, yaitu Bugis 3,5 juta penutur dan Makassar 2 juta penutur, keduanya juga mengalami pergeseran dalam arti terjadi penurunan pemerolehan kedua bahasa itu sebagai bahasa ibu bagi etnis Bugis dan Makassar.
Bahasa-bahasa etnik di Provinsi Maluku Utara juga mengalami pergeseran. Misalnya, pada kasus pergeseran bahasa Kao dan pergeseran bahasa Ibu (Ibo). Ibrahim (2011), mengemukakan bahwa bahasa Ibu (Ibo) dalam catatan Voorhoeve dan Vosser pada tahun 1987 berjumlah 35 penutur, pada tahun 2008 tinggal lima orang penutur berusia di atas 50 tahun. Sedangkan bahasa Kao sudah mulai jarang digunakan oleh orang tua kepada anak-anaknya di rumah. Mereka lebih sering menggunakan bahasa Ternate atau bahasa Melayu Ternate. Akibatnya, banyak anak muda yang tidak cukup cakap menggunakan bahasa Kao serta sebagian yang lain hanya memahaminya secara pasif.
Selain dua varietas bahasa etnik yang mengalami pergeseran di Maluku Utara tersebut, kasus pergeseran yang sama juga dialami oleh varietas bahasa lainnya. Gambaran mengenai pergeseran ini sebagaimana dikemukakan Ibrahim (2011) bahwa anak-anak di sejumlah desa di Kecamatan Gane Barat, Kecamatan Bacan Tengah Kabupaten Halmahera Selatan, beberapa desa di Kecamatan Oba Kota Tidore Kepulauan, beberapa desa di Kecamatan Jailolo dan Kecamatan Ibu Kabupaten Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara, kini tidak lagi menggunakan bahasa etniknya dalam bermain dengan sesama temannya. Situasi kebahasaan semacam ini dapat diterangkan karena sebagian besar desa-desa ini adalah desa dwibahasa atau desa multibahasa. Bahkan yang lebih menarik lagi adalah bahwa BMT ternyata telah menjadi bahasa pertama yang diperoleh bagi sebagian anak pada desa-desa monobahasa, seperti yang terjadi di Pulau Makian yang berbahasa etnik bahasa Makian Timur dan bahasa Makian Barat.
Bahasa Makian Barat sebagaimana pendapat Ibrahim (2011) tersebut merupakan salah satu bahasa etnik di Maluku Utara yang mengalami pergeseran karena desakan Bahasa Melayu Ternate (BMT). Bahasa ini dituturkan oleh etnik Moi (nama Moi saat ini lebih dominan ditulis Moy, akan dibahas pada segmen artikel lain) yang mendiami pesisir Barat Pulau Makian. Berdasarkan fakta sosiolinguistik di lapangan, bahasa Makian Barat secara alami dalam istilah penuturnya dinamakan dengan nama Bahasa Tetine. Sehingga, pada pembahasan selanjutnya penulis secara konsisten menggunakan nama bahasa Tetine.
Berdasarkan beberapa sumber penelitian sebelumnya, bahasa Tetine diidentifikasi dengan berbagai nama bahasa, di antaranya Ibrahim (2011) menyebutkan bahasa Tetine dengan nama bahasa Makian Barat, penyebutan ini sejalan dengan identifikasi nama bahasa yang dilakukan oleh SIL (2006) (dalam Pusat Bahasa, 2008). Berdasarkan hasil pemetaan Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia yang dilakukan oleh Pusat Bahasa Depdiknas pada tahun 2008 mengidentifikasi bahasa Tetine dengan nama bahasa Makian Luar dan dijelaskan bahwa daerah pemakaiannya hanya dituturkan di satu desa yaitu Desa Sebelei Kecamatan Pulau Makian (saat ini Kec. Makian Barat).
Hasil identifikasi nama bahasa Tetine dan daerah pemakaiannya di atas belum representatif mewakili identitas suatu bahasa di tengah masyarakat tuturnya secara natural karena beberapa alasan, pertama; identifikasi nama bahasa “Makian Luar” atau “Makian Barat” yang disematkan pada bahasa yang dipakai etnik Moi mengabaikan istilah alami nama bahasa yang digunakan oleh etnik Moi di Kecamatan Makian Barat. Kedua, Identifikasi daerah pemakaian bahasa ini, sebagaimana hasil pemetaan Pusat Bahasa (2008) yang menyebutkan bahasa ini hanya dituturkan di Desa Sebelei sangat jauh dari fakta sosiolinguitik di lapangan yang menunjukkan bahwa pemakaian bahasa ini umumnya dipakai di tujuh desa di Kecamatan Makian Barat sebagai desa induk, yakni Desa Sebelei (dulu Sabale), Desa Talapaon (dulu Talapao), Desa Mateketen (dulu Tafasoho), Desa Tegono (dulu Tagono), Desa Ombawa, Desa Bobawae (dulu Bobawa), dan Desa Malapat (dulu Malapa).
Seiring perkembangannya, bahasa Tetine tersebar di Maluku Utara pada + 40 desa. Dalam pembacaan penulis, persebaran bahasa ini disebabkan oleh migrasi etnik Moi yang dilakukan sejak lama karena beberapa faktor, pertama, faktor migrasi untuk bercocok tanam karena etnik Moi merupakan masyarakat agraris meskipun menetap di pesisir pantai Pulau Makian Barat. Migrasi karena cocok tanam ini dapat diamati pada persebaran etnik Moi di beberapa desa di Halmahera Selatan, beberapa desa di Oba Kota Tidore Kepulauan, dan beberapa desa di Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat. Kedua, migrasi untuk menempuh pendidikan, hal ini dapat diamati pada persebaran etnik Moi di Kota Ternate. Generasi etnik Moi yang bermigrasi ke Kota Ternate untuk menuntut ilmu kemudian memilih menetap karena sukses dalam pendidikan dan memiliki pekerjaan tetap. Ketiga, faktor geografis, gunung Kie Besi merupakan gunung api aktif sehingga isu letusannya pada tahun 1975 membuat pemerintah memindahkan etnik Moi dan etnik Taba (Makian Timur/Makian Dalam) ke wilayah Halmahera Utara. Pemindahan ini membentuk perkampungan yang saat ini dikenal dengan Kecamatan Malifut. Bersambung, baca bagian dua!
Artikel ini merupakan bagian pendahuluan tugas akhir Tesis penulis yang disusun pada tahun 2016. Publikasi ini telah mengalami pengurangan dan penambahan isi. Proses rilis didukung jaringan Pers Digital Maluku Utara dimaksudkan mengenalkan Bahasa Tetine/Vitine yang digunakan Etnik Moy di Maluku Utara untuk menyambut Kongres Bahasa Indonesia XII pada Oktober 2023.
Rujukan asli:
Achmad, Ilham. 2016. “Pergeseran Bahasa Tetine di Maluku Utara (Kajian Sosiolinguistik)”. Tesis. Program Pascasarjana Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar.